“Mewartakan Kabar Baik di Tengah Krisis Iman dan Identitas”
Bukankah Mesias Harus Menderita? (Luk 24:26)
Pernahkah anda mengalami Krisis iman? Bagaimana perasaaan, sikap dan pandangan anda tentang Tuhan saat itu dan apa yang telah Anda lakukan? Krisis iman bisa dialami siapa saja. Alasannya bisa jadi beragam: karena kesulitan atau kegagalan relasi dengan orang-orang terdekat (suami, istri, orang tua, anak-anak, teman dekat ataupun rekan bisnis), karena kegagalan pekerjaan/finansial, karena penyakit berat atau kecelakaan, karena ketidakadilan ataupun pengalaman ditolak.
Awal tahun ini saya diminta untuk memberikan sakramen orang sakit kepada seorang bapak yang sudah terbaring ditempat tidur lebih dari setahun karena stroke. Sebelum upacara doa dilakukan saya minta waktu untuk bicara pribadi (berdua saja) dengannya. Meskipun secara fisik beliau sudah sulit berbicara, ia dengan panjang lebar mengungkapkan kegundahan hatinya. Ternyata ia sangat kecewa terhadap Tuhan. Ia dan keluarganya telah berdoa dan mengusahakan pengobatan yang terbaik untuk penyakitnya, tetapi tidak ada perubahan. Semangat hidupnya pun lambat-laun menurun, ia kehialngan harapan untuk sembuh dan imannya pun goyah. Katanya: “Iaman saya pada Tuhan sudah selesai; Ia tidak peduli padaku.” Ungkapan penuh kekecewaan ini juga sekaligus menunjukkan adanya perubahan identitas terkait relasinya dengan Tuhan. Ketika masih kuat, bapak ini bertahun-tahun bekerja sebagai guru di sebuah sekolah Katolik. Tenaga, waktu dan talentanya dia abdikan sebagai ungkapan imannya kepada Tuhan. Dia pun bangga dan bahagia dengan semuanya itu. Iman Katoliknya kokoh. Tapi sakitnya mengubah segalanya. Ia merasa ditinggalkan oleh Tuhan. Tuhan seakan diam baginya. Hatinya pun jadi tawar di hadapan-Nya. Imannya yang sebelumnya kokoh, sekarnag memudar.
Para murid juga krisis iman?
Kesulitan dan penderitaan yang berlangsung lama memang bisa menggoyahkan bahkan mematikan iman kepada Tuhan. Hal seperti ini bukanlah pengalaman kita sendiri saja. Para rasul juga mengalami hal yang sama. Kita ingat pengalaman rasul Petrus. Ia dipilih dan dipanggil oleh Yesus untuk mengikuti-Nya secara amat dekat.relasi dengan Sang Guru pun lambat-laun menjadi istimewa. Petrus kemudian tiba pada kepercayaan penuh pada Yesus. Ia ungkapkan imannya: “Engkaulah Mesias, Anak Allah yang hidup.” Yesus pun menyebutnya sebagai batu karang diamana Dia mendirikan gereja-Nya (Mat 16: 16-19). Ketika banyak murid mengundurkan dan meninggalkan Yesus karena ajaran-Nya yang keras, Petrus berkata: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkaulah Yang Kudus dari Allah” (Yoh 6: 68-69). Pada malam perjamuan terakhir Ketika Yesus mengatakan bahwa iman para rasul akan tergoncang karena penderitaan yang akan ditanggung-Nya, petrus berkata: “Biarpun mereka tergoncang imannya karena Engkau, aku tidak akan menyangkal Engkau” (Mat 26: 33, 35). Meskipun demikian, ia juga mengalami krisis iman yang besar. Ketika nyawanya sungguh terancam, sambil mengutuk dia menyangkal Yesus (Mat 26: 69-75).
Bukankah Mesias harus menderita?
Dalam pelayanan publiknya dari Galilea ke Yerusalem, Yesus menyampaikan bahwa Dia akan menderita, dibunuh dan bangkit. Petrus bereaksi keras dengan menegur Yesus bahwa hal itu tidak akan terjadi. Tetapi Yesus berbalik menegur dia dengan keras pula: “Enyahlah Iblis. Engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan yang dipikirkan manusia” (Mrk 8: 31-33; Luk 9: 22; Mat 16:23). Saat Yesus ditangkap dan dibawa ke Istana Imam besar Kayafas dan Istana Pilatus untuk diadili, para murid tidak berani mengikutinya lagi. Petrus sendiri mengikutinya dari jauh meskipun kemudian menyangkal Yesus sebanyak 3 kali.
Ketika Yesus akhirnya benar-benar ditangkap dan disiksa lalu mati disalib, para murid yang sebelumnya mengikutinya-Nya dengan antusiasme besar menarik diri dalam kekecewaan dan ketakutan. Bahkan setelah Yesus wafat, tak satupun dari para rasul yang berani datang meminta dan menurunkan jenazahnya (bdk. Mrk 15: 42-47; Luk 23: 50-56; Mat 27: 57-61). Harapan besar yang mereka alamatkan kepada Yesus untuk membebaskan Israel kelihatan tidak terjawab. Pengalaman dua murid dalam perjalanan ke Emaus kiranya mewakili isi hati murid-murid lainnya. Dengan wajah muram kedua murid ini Kembali ke emaus sambil membicarakan kisah sedih yang dialami Yesus. Saat Yesus yang telah bangkit menampakkan diri kepada mereka, Ia pun menegur mereka karena ketidakmampuan mereka untuk memahami ‘hati’ Allah dan isi kitab suci: “Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi! Bukankah mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk kedalam kemuliaan-Nya” (Luk 24: 25-26).
Jelas bahwa penderitaan dan kematian Yesus menimbulkan kekecewaan da Krisi Iman dalam diri murid. Identitas mereka sebagai pengikut-Nya pun berubah: antusiasme untuk mengikuti Yesus hilang diganti diganti oleh kekecewaan dan ketakutan; iman mereka pun goyah. Mereka menarik diri, bersembunyi agar aman; ada yang Kembali pulang kerumahnya.
Sebagai manusia, Yesus pun bergumul dengan penderitaan ini. Sebelum ditangkap, Ia berdoa di bukit Zaitun. Disana Ia sangat ketakutan hingga peluh-nya menjadi seperti titik-titik darah yang jatuh ke tanah. Meskipun demikian Iman dan penyerahan diri-Nya pada Bapa tidaklah goyah: “Ya Bapa-Ku jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” (Luk 22: 42-44). Saat tergantung disalib, Yesus mengalami penderitaan besar juga secara Iman hingga Ia berseru dengan suara nyaring: “Allahku, Allahku, mengapa engkau meninggalkan Aku” (Mrk 15:34). Tetapi Iman-Nya kepada Bapa tetap kokoh. Saat kegelapan melanda daerah itu dan tabir Bait Allah terbagi dua, Ia berseru: “Ya Bapa kedalam tangan-Mu kuserahakn roh-Ku”. Dan sesudah berkata demikian Ia pun menyerahkan nyawa-Nya (Luk 23: 44-46).
Setelah kebangkitannya pada hari ketiga, jelaslah bagi kita bahwa kasih dan kekuasaan Allah melampaui penderitaan dan kematian. Kita pu jadi tahu bahwa kematian Yesus di salib bukanlah suatu kematian sia-sia, bukan pula lambing kehinaan dan kebodohan, tetapi bukti riil dari kasih Allah yanhg ingin menyelamatkan semua orang di dalam Kristus. Dengan sangat baik penginjil Yohanes merangkum kejadian ini: “karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus anak-Nya kedalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia” (3:16-17). Jelas bahwa Yesus, sang Mesias, rela menderita dan wafat untuk menyelamatkan kita para pendosa. Kematian Yesus tidak sia-sia.
Beriman teguh dan konsekuen
Dengan bantuan Roh Kudus para rasul kemudian mampu memahami misteri besar ‘kasih dan karya keselamatan Allah’ ini dalam Kristus. Mereka pun keluar dari rumah tempat mereka bersembunyi dan dengan semangat berapi-api tanpa takut mewartakan Yesus yang telah menderita dan bangkit demi keselamatan manusia (bdk. Kis 1-2). Pada tahap ini persekusi dan derita tidak lagi memudarkan Iman mereka kepada Kristus. Petrus sendiri pun tidak menghindari derita, ia rela mati disalibkan dengan kepala terbalik di kota Roma demi Imannya kepada sang penyelamat yang telah mengasihinya secara total. Rasul Paulus juga menegaskan hal senada: “siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?” (rom 8 : 35). Bagi Paulus, yang akhirnya juga dipenggal sebagai martir di kota Roma, dalam semua tantangan dan derita kita lebih dari pada orang-orang menang di mata dunia, sebab tidak ada kuasa manapun di dunia ini yang mampu memisahkan kita dari kasih Allah yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita (rom 8: 36-39).
Saya mendengarkan ‘curhat’ dari bapak yang sakit diatas dan turut merasakan pergumulan Imannya. Satu hal jelas: iman tidak meniadakan sakit dan penderitaan. Sejarah hidup banyak orang telah membuktikannya temasuk para murid dan Yesus sendiri. Saya mengajaknya untuk memandang Yesus disalib, membayangkan pergumulannya saat merasakan ketakutan hingga peluh-Nya menjadi seperti titik darah yang jatuh ke tanah, juga teriakan-Nya di atas salib: “Allahku mengapa Engkau meninggalkan Aku?” sambil berharap beliau akan mampu melihat Yesus yang ikut menanggung derita karena sakit dan kegelisahan hatinya. Beliau kemudian dengan rendah hati mohon sakramen pengampunan dosa sebelum menerima sakramen pengurapan orang sakit. Saat pamit pulang, saya mendapat ucapan terima kasih dari wajah yang tenang dan penuh kepasrahan. Beberapa hari kemudian saya mendapat kabar bahwa beliau telah berpulang ke pangkuan Bapa dengan tenang. Bagi saya, sang bapak telah menyelesaikan pertandingan Imannya dengan baik. Dia layak mendapat ganjaran sebagai seorang pemenang (bdk 2 Tit 4 : 7).
Mari kita teguh dalam Iman, konsekuen menghidupinya sebagai senjata dalam menghadapi tantangan, kesulitan, bahkan kegagalan dalam hidup kita. Sebab kita tahu dan percaya bahwa Allah telah lebih dulu mengasihi kita dalam Kristus (1 Yoh 4:16). Mengikuti pesan Yesus, marilah kita terus saling mengasihi seperti Kristus telah mengasihi kita. Kasih dalam suka dan duka, untung dan malang adalah tanda riil bahwa iman kita teguh dan hidup demi kemuliaan nama Kristus junjungan kita (Yoh 15: 17).