Menu Tutup

Purgatorium dan Indulgensi

Pertanyaan mengenai nasib manusia sesudah kematian merupakan pertanyaan teologis yang sering ditanyakan oleh umat beriman. Apakah ada kehidupan sesudah kematian? Apakah ada waktu antara sebelum nasib final manusia? Apakah yang disebut Purgatorium itu dan bagaimana jiwa di purgatorium masih ada hubungannya dengan orang-orang yang masih hidup di dunia ini? Inilah beberapa pertanyaan yang dijawab oleh Pst. Drs. Julius Salettia, Lic.Th. dalam webinar Teologi STFSP.

Penjelasan tentang Purgatorium dimulai P. Julius dengan menerangkan hal-hal yang membuat orang tidak menerima iman akan purgatorium. Ada yang tidak menerima karena tidak menemukan istilah itu dalam Kitab Suci. Yang lain berpendapat bahwa adanya purgatorium sebagai masa penyucian dosa bertentangan dengan kebaikan dan kasih Allah yang tak terbatas, yang mengampuni dan memberi jaminan keselamatan pada orang yang percaya. Bagi orang-orang ini purgatorium menjadi semacam hojatan terhadap karya penebusan dan kurban Kristus. Bagi P. Julius Kitab Suci tentu tidak berbicara langsung, tetapi banyak kali dalam Kitab Suci berbicara tentang penyucian dosa sesudah kematian. Yesus sendiri berbicara tentang pengampunan dosa seperti itu. Purgatorium bukanlah hojatan atau penyangkalan terhadap belas kasih Allah, melainkan justru merupakan penegasan akan kasih itu. Allah dalam kasih karunianya masih terus mengasihi orang yang dalam perjuangan hidupnya belum sungguh-sungguh menanggapi rahmat Allah dengan penuh. Purgatorium juga adalah penegasan dari daya rahmat berkat salib Yesus itu, yang menjangkau sampai dunia orang mati.

Purgatorium berasal dari kata purgare, artinya membereskan, merapihkan, menyucikan dari kesalahan, membenarkan dan memaafkan. Dalam bahsa Indonesia istilah ini diterjemahkan sebagai tempat penyucian atau tempat pemurnian. Secara teologis purgatorium menunjuk pada spasi untuk memurnikan jiwa agar pantas masuk surga. Keyakinan akan pemurnian dalam kehidupan setelah kematian ini didasarkan pada praktik doa untuk arwah, yang disebut dalam Kitab Suci (Warterworth, J. “The Council of Trent. Decree concerning the canonical scripture, 2015), dan diterapkan oleh umat Kristen sejak awal (KGK 1032), praktek berdasarkan keyakinan bahwa dengan doa, arwah dibantu dalam fase antara kematian jasmani dan masuknya mereka ke dalam kediaman akhir mereka.

Begitulah ditegaskan dalam Katekismus Gereja Katolik “Siapa yang mati dalam rahmat dan dalam persahabatan dengan Allah, namun belum disucikan sepenuhnya, keselamatan sudah dipastikan, namun ia harus menjalankan penyucian untuk mencapai kekudusan yang diperlukan dalam memasuki kegembiraan surga (KGK 1030). “Purgatorium adalah keadaan mereka yagn wafat dalam persahabatan dengan Allah, ada kepastian akan keselamatan kekal mereka, tetapi masih membutuhkan pemurnian untuk masuk ke dalam kebahagiaan surga (Kompendium KGK, 210).

Indulgensi

Pada bagian kedua P. Julius menerangkan tentang indulgensi. Ia mengutip KHK 992: Indulgensi adalah penghapusan di hadapan Allah hukuman-hukuman sementara untuk dosa-dosa yagn kesalahannya sudah dilebur, yang diperoleh oleh orang beriman kristiani yang berdisposisi baik serta memenuhi persyaratan tertentu yang digariskan dan dirumuskan, diperoleh dengan pertolongan Gereja yagn sebagai pelayan keselamatan, secara otoritatif membebaskan dan menerapkan harta pemulihan Kristus dan para Kudus (KHK 992).

Ajaran mengenai indulgensi ini terkait erat dengan sakramen pengampunan dosa. Umat Katolik menerimanya baik untuk pribadinya sendiri maupun untuk saudara-saudarinya dalam iman yang sudah meninggal dunia. Dengan pengharapan ini umat bisa memohon pengampunan bagi dosa-dosa orang yang dikasihinya agar mereka semakin terbuka akan rahmat penyelamatan Allah sendiri sehingga mereka dapat digabungkan dengan para kudus di surga. Dikatakan dalam Konsili Firenze: “… jika mereka bertobat dan meninggal dalam kasih Tuhan sebelum melunasi penitensi dosa mereka… jiwa mereka dimurnikan setelah kematian dalam Api Penyucian. Untuk membebaskan emreka, tindakan-tindakan silih (sufragia) dari para beriman yang masih hidup dapat membatu mereka, yaitu: Kurban Misa, doa-doa, derma, dan perbuatan kduus lainnya yang diberikan untuk umat beriman yang lain, sesuai dengan praktek Gereja.”