Menu Tutup

BERSAMA MARIA MENGHAYATI DUKACITA

 DI TENGAH TERPAAN HISTERIA COVID-19

Setiap tanggal 15 september gereja merayakan peringatan wajib maria bunda dukacita atau bunda yang berdukacita. Peringatan ini bukanlah suatu peristiwa yang berdiri sendiri, tetapi terkait erat dengan pesta salib suci yang dirayakan sehari sebelumnya. Karena itu makna peringatan ini secara liturgis  harus dipahami dalam kaitannya dengan peristiwa hidup Yesus, khususnya peristiwa salib dan kebangkitan-Nya.

Sebagai bunda dukacita, Maria adalah ibu yang berdiri tegar di dekat kaki salib Yesus. Kenyataan ini menunjukkan bahwa bagi Maria dukacita merupakan bentuk nyata dari komitmen untuk berjuang seperti Yesus dan Bersama Yesus. Bersama Yesus, Maria menapaki jalan hhidupnya menurut sabda dan kehendak Allah. “Fiat mihi secundum Verbum Tuum! Terjadilah kepadaku menurut perkataanmu itu.” Bunda maria tetap berada bersama dan bersat

u dengan Yesus dalam pengorbanan-Nya melawan dan mengalahkan kuasa dosa, serta mematahkan sengat maut yang mendera manusia. Baginya berdukacita bukanlah meratapi nasib, tetapi berjerih payah menuju yang lebih baik. Dukacita menjadi meterai perjuangan untuk setia pa

da komitmen.

Apa dan mengapa dukacita?

Meski manusia merindukan masa-masa indah, keuntungan dan nikmat sert

a kebahagiaan, namun ia harus berhadapan dengan banyak penderitaan. Dukacita merupakan fakta hidup manusia. Dukacita merupakan kebenaran agung dari hidup. Kelekatan dan keinginan tanpa pengertian pada dunia maya membuat manusia kecewa dan menderita dukacita (Buddha). Namun tidak semua dukacita adalah buah kelekatan dan keinginan tanpa pengertian. Dukacita manusia ada banyak penyebabnya.

Dalam gereja katolik kata ‘dukacita’ digunakan sebagai terjemahan kata dolor-doloris (bhs. latin), yang bisa berarti nyeri, rasa sakit atau duka, susah, kepedihan, sengsara dan penderitaan serta sesal. Kata dukacita dalam Bahasa Indonesia berasal dari kata dukkha (bhs. pali) atau dukkha (bhs. sansekerta) yang berarti sengsara, penderitaan, ketidakpuasan, perubahan, ketidaknyamanan, kesedihan, kemalangan dan keputusasaan. Pelbagai pengertian tersebut menyatakan dukacita sebagai kenyataan yang beragam dalam penyebab, bentuk maupun dampaknya.  Mengerti sumber, bentuk dan makna dukacita membantu manusia untuk mengatasinya. Berdasar penyebab, bentuk dan dampaknya orang memahami dukacita atas cara dan makna yang berbeda.

Pertama, dukacita karena proses natural, terjadinya kehilangan dalam hidup. Kehilangan pekerjaan, ditinggalkan oleh orang yang dikasihi dan yang mengasihi, akan mengalami kehilangan. Kehilangan mengakibatkan kekosongan dan membuat manusia berdukacita. Itulah dukacita orang yang jadi korban kemalangan dan nasib sial. Itulah kegetiran, kesedihan, keputusasaan, yang dialami para korban bencana alam, diskriminasi, peperangan, ketidakadilan, pelecehan dan wabah penyakit.

Kedua, ada dukacita akibat kejahatan dan kelalaian, kegagalan, ditolak, dibenci atau dimusuhi , diculik, dicabuli, dianiaya dan ditindas bahkan ancaman kematian. Dukacita terjadi karena yang diharapkan tidak menjadi kenyataan bahkan menjadi kehancuran (lih. Luk. 24:21). Namun ada orang kengerian, dan susah payah dijadikan kobaran api semangat juang untuk merubah nasib. “luka dan bisa kubawa berlari. Berlari hingga hilang pedih, perih. Aku mau hidup seribu tahun lagi” (Chairil Anwar).

Ketiga, dukacita karena kesetiaan pada komitmen atau cita-cita dan menabur dan berjuang. “seorang perempuan berdukacita pada saat ia melahirkan, tetapi sesudah ia melahirkan anaknya, ia tidak ingat lagi akan penderitaannya, karena kegembiraan bahwa seorang manusia telah dilahirkan kedunia” (Yoh. 16:21). Dukacita adalah pergumulan untuk tekun, setia, dan konsisten sampai akhir dalam komitmen. Dukacita adalah materai kesetiaan dan konsistensi.

Dalam cahaya kehendak dan sabda Allah, dukacita adalah bentuk nyata kepedulian bagi seluruh umat manusia dan setiap orang yang hidup  tidak benar dan tanpa cita-cita. Dalam Allah dukacita bukanlah nasib yang menimpa melainkan sebuah gerakan hati yang melahirkan kommitmen untuk kebaikan dan keselamatan mereka yang tak berselamat.

Musa melintasi banyak dukacita untuk menuntun bangsa Israel mencapai tanah terjanji. Yeremia mengalami dukacita karena kasih Allah akan dunia ini. “hai puteri-puteri Yerusalem, janganlah kamu menangisi aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu” (Luk. 23:28). Maria berdukacita karena kesediannya menerima sabda dan kehendak Tuhan menjadi ibu Yesus, sabda yang menjadi manusia.

Ketakutan akan dukacita

Tidaklah mudah menghayati makna dukacita Bunda Maria. Masyarakat menghayati peristiwa duka melalui usaha memberi penghiburan seperti misalnya para pelawat yang datang pada sebuah acara kematian dan bergantian menyanyikan lagu-lagu dan memainkan lagu-lagu dan memainkan music-musik bagaikan membius yang berduka agar melupakan dukacitanya. Orang lebih suka menjadi penghibur daripada turut berdukacita. Turut berdukacita, lebih dimengerti sebagai memberi penghiburan bagi yang berduka, tanpa belajar pesan dan spirit dari peristiwa duka. Konsekuensinya orang-orang mulai kehilangan pengertian akan makna dukacita dan minat untuk turut terlibat dalam duka.

Fenomena ini berakhir dalam kecenderungan menghindari pembawa dukacita dan ketidaknyamanan serta kebiasaan mengejar sukses tanpa pengorbanan. Penyebarnya adalah mereka yang terbiasa mendapat kemudahan untuk mencapai sukses, nikmat dan kesenanga secara instan melalui korupsi, kolusi dan nepotisme. Bahkan ada juga kelompok orang Kristen yang hanya ingin merayakan kebangkitan Kristus (Paskah) tanpa salib. Mereka berteriak: “Alleluya! Kristus sudah bangkit!” salib sudah lewat! Putera-puteri kebangkitan tidak lagi membutuhkan salib.

Kecenderungan itu membuat orang lupa bahwa dukacita menjadi bagian hakiki dari hidup. Music dan lagu dapat menghibur orang yang ditimpa duka namun tidak dapat menghapus fakta pembawa dukacita. Dukacita merundung manusia karena mereka tak menemukan maknanya. Pemahaman atau pengertian tentang makna membuat manusia bertahan. “he who has a why to live for can bear almost any how” (Nietzsche).

Maria Bunda Dukacita

Maria bunda dukacita adalah warisan sejarah keselamatan. Maria dikukuhkan sebagai Bunda Dukacita justru Ketika ia berdiri dekat kaki salib Puteranya. Dari salib-Nya Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihinya berdiri disitu, Ia berkata kepada Maria; “itulah anakmu” dan kepada murid-Nya: “itulah Ibumu” (Yoh. 19: 26-27). Maria menjadi Bunda dukacita karena bersedia melangkah maju di tengah tragedi hidup manusia. Ia setia pada komitmen menerima dan melaksanakan kehendak Allah sesuai sabda-Nya dengan hadir dan berjalan bersama Puteranya.

Maria menguasai dan mengendalikan dukacita dengan menyimpan semuanya dalam hati dan merenungkannya (Luk. 2:19. 51). Hatinya mencerna, memahami dan menyerap makna terdalam dari dukacita sebagai pengorbanan diri. Dukacita menjadi buah kandungan hatinya dan spirit hidupnya. Ia mengandung dukacita sebagai semangat dalam dirinya dan melahirkannya melalui kata, sikap dan tindakan pemberian dirinya bagi manusia yang perlu diselamatkan. Demikianlah maria menjadi ibu Yesus sepenuhnya: dia yang mendengar dan melaksanakan Sabda Allah (Mrk. 3:33-35).

Dengan spirit dukacita dan pengorbanan diri, maria berdiri tegar di barisan para abdi Allah yang menjadikan pengorbanan hidup sebagai buah kandungan spiritualitas hidup mereka. Mereka menjadi partisipan dalam spirit hidup Allah: kasih yang memberi hidup (Yoh. 3: 16-17; 10:10-11). Di Indonesia orang mengungkapka spirit itu dengan bernyanyi, “bagimu negeri jiwa raga kami!” spirit itu membuat hidup berbuah melimpah. “sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (yoh. 12:24).

Jadi bunda dukacita bukanlah seorang pelantun bukanlah seorang pelantun kidung duka dan penggemar lagu-lagu ratapan, bukan juga korban yang pasrah menrima dan meratapi nasib sial dengan hati penuh kegetiran. Maria tidak pernah meratapi nasibnya. Baginya dukacita adalah spirit hidup, kesediaan berkorban, tak gentar dengan penderitaan untuk menjunjung tinggi kehendak, sabda dan hukum Allah. “sebilah pedang menusuk hatinya” dan memenuhinya dengan dukacita. Ia berani hidup dalam kesulitan dan susah payah untuk suatu tujuan dan cita-cita yang mulia.

Menghayati dukacita ditngah terpaan Virus dan Histeria Covid-19

Covid-19 menjadi pembawa dukacita global dan total, lahir dan batin. Orang mengalami dukacita karena ancaman virus, karena banjir informasi yang meresahkan, karena protokol Kesehatan yang membuat hidup tidak nyaman, karena kebangkrutan usaha dan kehilangan pekerjaan, karena harus belajar dan bekerja serta beribadat atas cara yang tidak normal. Bahkan harus menyaksikan orang yang dikasihi dan mengasihinya meninggal dan dikuburkan tanpa keluarga dan dengan cara yang semakin membuat manusia terluka. Semua orang tanpa memandang kelas usia, diminta untuk tetap tinggal di rumah demi memotong rantai persebaran virus corona penyebab covid-19.

Pelbagai pihak seakan berlomba dalam aksi memerangi dukacita umat mausia dengan menjadi penyebar berita; mencipta lagu dan bernyanyi, menguatkan dan memberi pencerahan; mencipta masker dan alat pelindung diri dari yang sederhana dan murah sampai yang berlapi emas; calon kepala daerah berlomba berbagi sembako. Juga saling tuding dan kelaliman serta kezoliman turut mewarnai panggung dukacita ini. Namun covid-19 tetap Berjaya dan membuat dukacita berkepanjangan. “pada 8 juli 2020 penambahan kasus covid-19 mencapai rekor tertinggi yakni sebanyak 1.835 kasus. Penambahan ini adalah gambaran bahwa penularan masih terjadi dan buntut protocol Kesehatan tak dipatuhi” (Achmad Yurianto).

Di tengah situasi demikian, gereja memperingati maria bunda dukacita. Pesan apa yang harus diwartakan untuk memberi pencerahan kepada masyarakat yang dilanda dukacita yang berkepanjangan ini?

Maria yang berdiri tegar di kaki salib memberi kesaksian tentang dukacita yang menyelamatkan dan membuat manusia mampu berdiri tegar. Manusia tidak akan selamat dengan meratapi kemalangan dan nasib sial, bukan pula dengan bertindak sok pahlawan. Dukacita yang menyelamatkan lahir dalam bentuk kerelaan berkorban demi kebaikan dan keselamatan bersama. Berdukacita dengan mengorbankan kebebasan, keinginan, keuntungan dan pelbagai profit; berkorban dengan memberi diri melalui hidup berdisiplin dalam kebutuhan pada aturan hidup yang menyelamatkannya semua. Pengorbanan adalah ekspresi dukacita yang menyelamatkan.

Perang melawan wabah covid-19 membutuhkan pengorbanan semua pihak. Dukacita yang menyelamatkan terbentuk melalui pemahaman dan pengertian yang melahirkan kesediaan berkorban demi keselamatan Bersama. Ketaatan pada protocol Kesehatan adalah (dukkha), ekspresi penghayatan dukacita yang menyelamatatkan. Ingat! Ketidaktaatan satu orang akan mencelakakan semua. Sebagaimana karena ketidaktaatan satu orang, dosa telah masuk kedalam dunia. Demikian halnya dengan virus corona. Sedangkan ketaatan setiap orang, satu demi satu akan menyumbang bagi menyelatkan Bersama. Dukacita Bunda maria mencerahi dan menyemangati perjuangan manusia semesta, melintasi terpaan covid-19, menuju masa depan yang baru dan lebih baik.