Apa itu prefasi?
Sejarah
Prefasi berasal dari kata Latin praefatio. Kata ini dimengerti atas dua cara. Pertama, praefatio menunjuk pada ujaran yang disampaikan sebelum atau mendahului sesuatu yang lain. Di sini kata depan prae– diartikan secara temporal. Kedua, praefatio merupakan pewartaan atau pemakluman yang diucapkan di hadapan orang banyak atau Tuhan. Preposisi prae– ditempatkan dalam konteks ruang. Dalam perayaan liturgis, prefasi dipahami sebagai rumusan doa yang dikumandangkan di hadapan jemaat dan diarahkan kepada Tuhan.
Sebagai sebuah rumusan doa, prefasi awalnya berfungsi untuk mengiringi sebuah tindakan liturgis tertentu, terutama dalam liturgi tahbisan. Dalam perkembangan kemudian, prefasi lalu menjadi istilah yang dipakai dalam konteks Doa Syukur Agung (disingkat DSA), sebagaimana yang kita mengerti sekarang. Prefasi dan DSA awalnya membentuk satu kesatuan. Jadi, prefasi menunjuk juga pada keseluruhan DSA atau Kanon. Namun, sejak akhir abad ke-8, prefasi dipisahkan dari teks Kanon (DSA I). Prefasi tidak lagi dilihat sebagai bagian integral dari DSA, melainkan semata sebagai pengantar ke dalam DSA. Hal ini berkaitan dengan fenomena liturgis yang muncul pada waktu itu: imam mengucapkan teks DSA dengan berbisik-bisik. Hanya imam yang boleh masuk ke dalam kekudusan Kanon. Teks Kanon dimulai Te igitur. Huruf T dicetak secara menonjol, berbentuk salib dan dihiasi dengan tulisan gotik yang indah. Hal ini semakin memperkuat kesan bahwa prefasi hanya merupakan pengantar ke dalam Kanon.
Pembaharuan liturgi sesudah Konsili Vatikan ke II memberikan perhatian pada prefasi dan berusaha untuk menempatkan prefasi sebagai bagian integral dari DSA. Menurut Konstitusi Apostolik Missale Romanum (1969), prefasi merupakan bagian pertama dari DSA. Bagian berikutnya adalah teks Kanon yang sejak abad IV dan V tidak mengalami perubahan. Selain itu, disinggung juga usaha untuk memperkaya DSA dengan rumusan prefasi yang lebih banyak. Misale Romawi 1570 hanya memiliki 15 rumusan prefasi. Sedangkan, Misale Romawi 1970 memperbanyak jumlah prefasi menjadi 82. Jumlah prefasi yang kaya memang merupakan ciri khas Ritus Romawi. Setiap prefasi menekankan salah satu aspek dari misteri keselamatan yang sementara dirayakan.
Karakteristik
Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR) menjelaskan karakteristik dari prefasi. Ada dua unsurdari DSA yang berkaitan erat dengan prefasi, yakni ucapan syukur dan aklamasi (PUMR 79). Ucapan syukur mendapat tempatnya terutama di dalam prefasi. Dengan demikian, prefasi menggarisbawahi makna terdalam dari Ekaristi sebagai tindakan ucapan syukur. Subjek dari tindakan itu adalah umat. Atas nama umat beriman, imam menyanyikan atau mengucapkan prefasi. Motif utama dari pujian syukur adalah karya keselamatan Allah yang berpuncak pada Misteri Paskah Kristus (derita, wafat dan kebangkitan-Nya). Namun, dalam Ritus Romawi, prefasi biasanya menonjolkan salah satu aspek dari karya keselamatan Allah. PUMR menegaskan dalam kaitannya dengan itu bahwa banyaknya prefasi yang tersedia bermaksud agar dalam DSA segi syukur lebih ditekankan, dan masing-masing segi dalam misteri keselamatan lebih diuraikan (PUMR 364). Unsur kedua, yakni aklamasi, terungkap di dalam nyanyian Kudus. Dengan menyanyikan Kudus, umat yang berkumpul bersatu dengan paduan suara para malaikat dan para kudus di surga.
Struktur dan Isi
Prefasi membentuk sebuah kesatuan literer yang tersusun atas lima bagian: (a) Dialog Pembuka, (b) Rumus Pengantar, (c) Embolisme, (d) Peralihan ke Kudus, (d) Kudus. Agar lebih jelas, kita akan mengambil sebagai contoh teks Prefasi VII Hari Minggu Biasa dengan tema “Kita Selamat Karena Ketaatan Kristus” (TPE 74).
- a) Dialog Pembuka
Semua prefasi dalam TPE memiliki rumusan dialog pengantar yang sama (I: Tuhan bersamamu. U: Dan bersama rohmu. dst.). Dialog bertujuan (a) untuk membangkitkan kesadaran akan kebersamaan antara umat yang berkumpul dengan imam yang merayakan Ekaristi, (b) untuk menyerukan agar umat mengangkat hati kepada Kristus yang karya keselamatan-Nya dikenangkan, (c) untuk mengajak dan menghantar umat yang berkumpul kepada tindakan syukur kepada Tuhan.
- b) Rumus Pengantar
“Sungguh layak dan sepantasnya, ya Bapa yang kudus, Allah yang kekal dan kuasa, bahwa di mana pun juga kami senantiasa bersyukur kepada-Mu”.
Jawaban umat pada akhir dialog pembuka (U: Sungguh layak dan sepantasnya) menghantar pada rumus pembuka yang dimulai dengan tema yang sama (Sungguh layak dan sepantasnya). Rumus pembuka ini mengungkapkan maksud utama dari DSA, yakni mengucap syukur kepada Tuhan. Inilah inti dari keseluruhan perayaan Ekaristi. Inspirasi dasar dari ajakan untuk mengucap syukur adalah Paulus (bdk. 2 Tes 1:3, Ef 5:20; Kol 3:17; 2 Kor 9:11-22). Prefasi diarahkan kepada Tuhan. Hal ini tercermin dalam sapaan kepada Tuhan (anaklesis): Bapa yang kudus (bdk. Yoh 17:11). Ini adalah sapaan yang sangat lazim di dalam prefasi Ritus Romawi. Di samping itu, prefasi menyebut beberapa atribut ilahi, yakni kekal dan kuasa (Allah yang kekal dan kuasa).
- c) Embolisme
“Sebab Engkau mengasihi dunia dengan kasih yang begitu besar sehingga Engkau mengutus Putera-Mu menebus kami. Oleh karena ketaatan-Nya, Engkau telah memulihkan kasih karunia yang telah kami hilangkan karena ketidaktaatan kami kepada-Mu. Seturut kehendak-Mu, Yesus Kristus hidup sebagai manusia biasa seperti kami, namun tanpa dosa, supaya kami meneladan Dia sehingga kesetiaan yang berkenan kepada-Mu dan Engkau temukan dalam diri Putera-Mu itu Engkau temukan pula dalam diri kami.”
Embolisme merupakan bagian utama dari prefasi. Ia memuat motif atau alasan untuk mengucap syukur kepada Tuhan. Motif ini berkaitan dengan karya keselamatan dan rahmat Allah bagi manusia. Teks prefasi di atas menekankan aspek khusus dari karya keselamatan Allah dalam diri Yesus. Dibawakan dalam bentuk narasi, embolisme menghadirkan kembali karya keselamatan Allah di masa yang lalu yang terwujud secara konkret di dalam hidup dan karya Yesus. Motif pertama untuk mengucap syukur adalah kasih Allah yang begitu besar bagi dunia (bdk. Yoh 3:16-17). Motif kedua adalah ketaatan Kristus. Dengan ketaatan-Nya Kristus telah memulihkan kasih karunia yang hilang karena ketidaktaatan manusia (bdk. Rom 5:19). Motif ketiga adalah solidaritas dan kerelaan-Nya untuk mengambil bagian dalam kelemahan manusia (bdk. Ibr 4:15).
- d) Peralihan ke Kudus
Setiap prefasi memiliki rumusan yang menandai peralihan dari Embolisme ke Kudus. Biasanya rumusan peralihan itu diawali dengan frase penghubung sebab akibat, seperti “maka”, “dari sebab itu”, “oleh karena”.
“Maka, ya Bapa, kami mengumandangkan lagu pujian bagi-Mu dan bersukaria bersama para malaikat dan semua orang kudus yang tak henti-hentinya bernyanyi.”
- e) Nyanyian Kudus
Nyanyian Kudus dalam setiap DSA memiliki rumusan yang sama. Teks Kudus berasal dari Yes 6:3 dan Why 4:8, sedangkan teks Diberkatilah dari Mzr 118,25-26 dan penerimaannya dalam Injil Sinoptik dan Yohanes (bdk. Mat 21,1:11; Mrk 11:1-11, Luk 19:28-44, Joh 12:12-19). Sebagaimana yang sudah disinggung di atas, nyanyian Kudus merupakan tindakan dari umat yang berkumpul bersama-sama dengan para malaikat dan para kudus di surga. Umat yang berkumpul bersatu dengan nyanyian para kudus dan malaikat di surga.
Beberapa pertimbangan praksis
Ada 61 rumusan prefasi dalam TPE saat ini. Prefasi-prefasi itu dapat dipilih sesuai dengan masa liturgi, hari raya, pesta atau peringatan yang bersangkutan. Dalam rangka itu, kita harus memperhatikan hal berikut. Dalam TPE, DSA I dan III tidak memiliki prefasi yang tetap. Dengan demikian, kita bisa menggunakan salah satu dari rumusan prefasi yang tersedia sesuai dengan tahun liturgi atau tema perayaan. DSA IV memiliki prefasi yang tetap, dan karena itu tidak boleh diganti dengan prefasi lainnya. Ada beberapa DSA yang dilengkapi dengan prefasi tertentu, tetapi prefasi itu bisa diganti dengan prefasi lain yang sesuai, misalnya DSA II, DSA dengan tema Pertobatan (DSA V dan VI). DSA VII (untuk berbagai kepentingan) menyediakan 4 prefasi yang cocok dipakai dalam misa dengan ujud-ujud tertentu. DSA VIII (untuk misa bersama anak-anak I) menyediakan sebuah prefasi yang tetap. Prefasi untuk DSA IX (untuk misa bersama anak-anak II) dapat juga diganti dengan prefasi lain yang sesuai. Hal yang sama juga berlaku untuk DSA X (untuk misa bersama anak-anak III).
Bagaimana membawakan prefasi? Prefasi dilagukan atau diucapkan hanya oleh selebran utama (PUMR 216). Kudus dilagukan atau diucapkan oleh semua imam konselebran, bersama dengan umat dan paduan suara. Jika prefasi diucapkan saja, maka imam harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh bahwa ia sementara mewartakan karya keselamatan Allah sambil berdoa. Mengucapkan prefasi harus lebih dari sekedar membacakan teks yang tertulis dalam buku. Hal ini mengandaikan bahwa sebelum membawakan prefasi, imam sudah membaca dan merenungkan isi prefasi yang hendak disampaikan. Sering terjadi bahwa sesudah mengucapkan dialog pembuka, imam baru mulai membolak-balik TPE untuk mencari prefasi yang sesuai. Jika demikian yang terjadi, maka dimensi pewartaan dari prefasi tidak mendapatkan pengungkapan yang sesuai. Sangat dianjurkan, terutama pada Hari Minggu atau Pesta, bahwa prefasi dinyanyikan. Menyanyikan prefasi membutuhkan persiapan dan latihan terlebih dahulu. Dalam menyanyikan prefasi, suara imam ditonjolkan sehingga kata-kata prefasi yang diucapkan bisa ditangkap secara jelas. Sangat tidak tepat kalau prefasi diiringi dengan alat musik lainnya.
Akhir kata, memahami prefasi semata-mata sebagai pengantar ke dalam DSA adalah sebuah konsep yang keliru. Prefasi adalah bagian utuh dari keseluruhan DSA. Bahkan, hakekat DSA sebagai ucapan syukur kepada Allah termuat secara jelas di dalam prefasi.
Sumber:
Baumgarten, J., Die Präfationen: Das eine Mysterium Christi im Spiegel der vielen Mysterien, dalam: Gratias Agamus. Studien zum eucharistischen Hochgebet, hg. v. Andreas Heinz und Heinrich Rennings (Herder: Freiburg, 1992) 23-43.
Gerhards, A., Die Präfationen, dalam: Bewahren und Erneuern. Studien zur Meßliturgie, hg. v. Reinhard Meßner u.a. (Innbruck: Tyrolia, 1992) 202-218.
Pedoman Umum Misale Romawi. Komisi Liturgi KWI (Ende: Nusa Indah, 2002)