KREMASI DALAM GEREJA KATOLIK
Sejak tahun 1963 Gereja Katolik memperbolehkan praktek ini bagi umat Katolik, dengan syarat bahwa alasan kremasi tidak boleh bertentangan dengan ajaran iman atau sikap anti iman Katolik. Dalam dasa warsa ini praktek kremasi menjadi kian populer lagi, khususnya di Amerika dan Eropa. Banyak perusahaan jasa kematian menawarkan paket pelayanan lengkap. Demi alasan bisnis, mereka menampung semua jenis motivasi, sesuai permintaan keluarga. Alasan kremasi juga makin bervariasi: karena alasan penyakit, ekonomi dan sosial dan sebagainya. Selain itu ada juga karena suatu latar belakang religiusitas baru, yang sayangnya sering bertentangan dengan iman Gereja. Situasi inilah yang menyebabkan Kongregrasi Kepausan tentang ajaran Iman pada 15 Agustus 2016 mengeluarkan lagi sebuah instruksi untuk kremasi ini. Dokumen itu berjudul Ad Resurgendum cum Christo tentang penguburan jenazah dan konservasi abu bagi jenazah yang dikremasi.
Tulisan ini akan menerangkan pandangan Gereja tentang kremasi dengan mengangkat dulu pandangan terhadap kematian dan kubur sebagai dasarnya.
Pandangan Gereja Katolik terhadap Kematian, Jenasah dan Kubur
Secara ringkas iman Katolik memandang kematian bukan sebagai akhir. Dengan kematian hidup tidak diakhiri, melainkan diubah (Prefasi Arwah I). Tubuh atau badan memang binasa, tetapi roh akan menghadap Tuhan. Kematian adalah gerbang kehidupan kekal. Sebagai gerbang hidup kekal, proses kematian itu bahkan sudah mulai saat pembaptisan, karena saat dibaptis kita dipersatukan dengan kematian dan kebangkitan Kristus. Paulus menyebut kematian sebagai akhir pertandingan yang baik, dan setelahnya tersedia mahkota kebenaran di surga (ITim 4:7). Kematian tidak memisahkan orang dari cinta Kristus, melainkan mendekatkannya. Itulah nada relasional dalam kematian: dipanggil Tuhan, pulang ke rumah Bapa, masuk dalam istirahat kekal, masuk dalam kehidupan abadi, dsb. Singkatnya, dipanggil kepada kebangkitan bersama Kristus, menjadi inti dari iman Katolik berhadapan dengan kematian.
Dalam kaitan itu Gereja Katolik menghormati jenazah bukan sekedar sebagai sisa-sisa kehidupan belaka. Meskipun terdiri dari tubuh dan jiwa, manusia adalah manusia dalam kesatuannya itu. Dalam tubuh ini pribadi dan identitas manusia dikenal dan hidup. Kesatuan itu demikian erat, sehingga tubuh disebut sebagai bait Allah bagi manusia, yang membuat manusia hadir di duinia ini baik sebagai mahluk jasmani maupun mahluk rohani. Karena itu juga ketika tubuh telah menjadi jenazah, Gereja tetap menghormatinya dengan penghormatan yang layak. Gereja dan handai taulan berdoa di sekelilingnya. Tubuh didandani dan dikenakan pakaian pesta. Semua perlakuan itu menegaskan iman kita akan hari kebangkitannya di akhir jaman. Itulah iman akan kebangkitan badan. Bahwa Allah akan membangkitkannya pada akhir jaman dan mempersatukan lagi dengan rohnya untuk akhirnya masuk kembali dalam kebahagiaan abadi.
Pilih mana: Menguburkan atau Kremasi?
Dengan latar belakang tadi, Gereja Katolik memandang bahwa penguburan adalah praktek yang paling tepat untuk mengungkapkan iman kristiani dan pandangannya tentang kematian. Makam dipandang sebagai tempat suci, tempat ziarah, tempat doa, tempat dimana keluarga dan sahabat, bahkan Gereja sebagai persekutuan umat beriman, mendoakan keselamatan jiwanya serta mengenang penuh kasih orang tersebut. Kubur dipandang sarana yang sangat baik bagi penghayatan iman akan persekutuan para kudus, dimana Gereja yang sedang berjiarah di dunia ini mendoakan dan menghubungkan diri secara rohani dan emosional dengan saudaranya yang sudah mendahuluinya. Kubur menjadi memento mori, kenangan akan kematian kita sendiri dan harapan kita akan kebangkitan.
Bagaimana dengan kremasi? Kremasi diperbolehkan asal dengan penghayatan yang sama, yaitu bahwa sesudah kematian identitas kita tidak lenyap, dan kita menantikan kebangkitan orang mati. Menurut Gereja Katolik, pada dirinya kremasi tidak bertentangan dengan ajaran Gereja, karena tidak menghalangi kuasa Allah untuk membangkitkan orang mati. Tubuh memang akan hancur, entah melalui penguburan biasa ataupun melalui pembakaran. Manusia yang berasal ‘dari debu akan kembali ke debu.” Kebangkitan badan berlaku untuk semuanya. Kuasa Allah-lah yang akan membangkitkan badan ini.
Hanya saja perlu diperhatikan dua syarat ini: Yang pertama: alasan memilih kremasi tidak boleh bertentangan dengan ajaran Gereja. Ini akan diterangkan pada bagian berikut. Yang kedua, sesudah kremasi hendaknya abu dikuburkan atau disimpan di tempat penyimpanan abu yang disahkan oleh Gereja. Abu tidak boleh ditaburkan di alam, baik laut, darat maupun udara. Abu juga tidak boleh disimpan di rumah, atau dibagi-bagi untuk dijadikan kenang-kenangan, atau dijadikan souvenir di kalung, mutiara dsb. Jadi sekali lagi, abu dari seseorang yang meninggal, harus diperlakukan dengan hormat, yaitu dengan dimakamkan di pekuburan, atau disimpan di rumah penyimpanan.
Alasan yang bertentangan
Manakah alasan yang bertentangan itu? Ada banyak, beberapa di antaranya disebut dokumen Ad resurgendum cum Christo (no.7).
Nihilisme, yaitu pandangan bahwa kematian adalah akhir dari segalanya. Paham ini memandang kematian sebagai akhir dari segalanya. Tak ada kehidupan sesudah kematian, tak ada kehidupan kekal, apalagi kebangkitan badan. Kematian merupakan penihilan seorang pribadi. Ini jelas bertentangan dengan iman kita. Dahulu banyak praktek kremasi dilatar-belakangi motivasi ini, sebagai ungkapan kehilangan iman dan perlawanan terhadap iman akan kebangkitan.
Pantheisme atau naturalisme: yang memandang bahwa setelah kematian tubuh kembali bersatu dengan alam atau kosmos. Penganut pandangan ini, dipengaruhi oleh gerakan new age, biasanya suka menaburkan abu jenazah di alam, misalnya di laut, di udara, di sela-sela karang atau di bawah tanaman tertentu, dengan maksud agar roh orang tersebut terserap oleh ibu bumi atau semesta. Ada kalanya orang juga menaruh abu di dalam souvenir (memento), di perhiasan dan benda-benda lain (sebagai kenangan atau bagaikan jimat).
Pandangan inkarnasi, yang percaya akan lingkaran-lingkaran regenerasi. Setelah kematian seseorang akan hidup lagi dalam sosok yang lain. Kremasi dipilih untuk membantu mempercepat pelepasan jiwa dari tubuh lamanya, yang sudah tidak berguna lagi. Pandangan seperti ini ada di agama Budha dan Hindu.
Pandangan kematian sebagai pembebasan. Seolah-olah roh terpenjara di dalam tubuh, sehingga kematian merupakan peristiwa pembebasan dari penjara itu. Pandangan ini membuat tubuh dipandang sebagai negatif, layaknya pandangan gnosisisme.
Selain alasan di atas, ada juga alasan psikologis: ketakutan akan penguburan premature. Ini karena adanya kasus kematian suri, dimana orang yang belum sungguh-sungguh mati terlanjur dikubur. Kremasi dipilih, karena kalaupun terjadi bahwa si mati bangkit, setidaknya penderitaannya tidak berlangsung lama dibanding ketika dikubur.
Bila kremasi dipilih karena alasan-alasan tersebut, Gereja tidak akan memberikan sakramen atau ibadat kematian menurut tata cara katolik.
Ibadat Kematian untuk Kremasi
Pada upacara kremasi biasanya dibuat ibadat yang sama seperti saat pemakaman biasa. Penurunan peti sebagaimana dalam pemakaman biasa diganti dengan pemasukan ke dalam crematorium. Namun, demi alasan praktis bagian ini diletakkan di bagian akhir, sehingga sesudah itu crematorium ditutup. Penaburan bunga bisa dilakukan setelah peti dimasukkan di crematorium.
Perlakuan terhadap Abu
Seperti disebut di atas, Gereja melarang orang menaburkan abu di laut atau ditebar di laut, bukit, karang, atau bawah pohon dsb. Sebaliknya abu harus ditempatkan di tempat kudus yaitu dimakamkan di tempat pemakaman resmi Gereja, atau di tempat penyimpanan abu yang secara khusus didedikasikan untuk itu oleh otoritas Gereja yang sah.
Abu tidak boleh disimpan di rumah untuk menghindari berbagai macam penyimpangan. Perlakuan yang penuh hormat ini dimaksudkan agar orang yang meninggal tidak dilupakan dalam doa-doa keluarga Allah, serta untuk menghindari berbagai macam penyimpangan yang bisa terjadi. Hanya karena alasan khusus yang berat sekali, dengan memperhatikan pertimbangan Konferensi Wali Gereja, bisa diberikan ijin oleh Uskup, untuk penyimpanan abu di rumah tinggal. Tetapi sama sekali dilarang bahwa abu itu dibagi-bagikan, atau ditempatkan di dalam perhiasan-perhiasan.
Kesimpulan
Kremasi diperbolehkan. Dengan memilih kremasi dasar iman tentang kematian, hidup kekal, dan harapan akan kebangkitan tidak boleh ditinggalkan atau disangkal. Begitu pula penghormatan kepada jenazah dan kenangan akan orang tersebut. Karena itu perlakuan terhadap abu harus juga dengan semangat katolik, yaitu dengan dimakamkan di tempat yang suci, Gereja ataupun tempat khusus.