Dimuat di Percikan Hati vol. 16. No. 7. Maret 2018 hal. 6-10.
Gereja Anglikan, dalam banyak hal, tampak mirip dengan Gereja Katolik. Memang di antara sekian banyak Gereja yang dihasilkan Reformasi Protestan, Reformasia dan Gereja Anglikanlah yang relatif paling dekat dengan gereja Katolik, terutama dalam hal model organisasi dan tata liturginya.
Berawal dari amarah seorang Raja yang lagi dimabuk asmara
Gereja Anglikan tidak muncul dari sebuah ajaran baru yang revolusioner, seperti ajaran Luther,. Bukan pula dari gerakan pembaruan yang muncul di akar rumput; atau sebuah keputusan rakyat membentuk sebuah negeri Protestan, semisal di Genewa atau Zuerich. Gereja ini muncul dari nafsu seorang Raja, yang bentrok dengan Hirarki Gereja Katolik terkait permasalahan pribadinya. Bagaimana bisa?
Sang Raja sedang jatuh cinta kepada gundiknya yang lebih muda dan tentu lebih cantik dari permaisurinya yang sudah 40-an tahun, 5 tahun lebih tua darinya. Mereka sudah menikah 18 tahun, sudah menghasilkan 5 anak, laki maupun perempuan. Hanya saja yang tersisa cuma satu anak perempuan, Mary, lainnya meninggal waktu masih balita. Sang raja ingin cerai agar bisa menikah dengan si gundik. Alasan yang dikemukakan: ingin pewaris laki-laki, kalau perempuan, tidak menjamin bisa mempersatukan negeri di saat yang kritis itu. Itulah Raja Henry VIII, yang dari tahun 1509, selama 38 tahun, memerintah Kerajaan Anglia (kata latinnya ‘Inggris’, dari mana diturunkan kata sifat ‘Anglicana’).
Sang Raja kukuh berkeyakinan Katolik. Setidaknya itu tampak dalam sikapnya menentang pandangan Martin Luther, si Reformator Jerman. Buah penenya “Assertio Septem Sacramentorum” menegaskan kebenaran ajaran Gereja Katolik menyengkut sakramen-sakramen dan Misa Kudus, juga supremasi kepausan, selibag, hidup membiara, dan hal-hal lan yang diserang Luther habis-habisan. Paus Leo X begitu senang sampai menganugerahinya gelar “Defensor Fidei” (Pembela Iman). Henry jelas tidak menunjukkan tanda-tanda bakal jadi Reformator Gereja.
Untuk mengegolkan rencananya lepas dari ikatan nikah dengan permaisurinya, Catherine, Raja mengajukan permohonan declaratio nullitatis (pembatalan nikah) kepada Paus. Dasarnya: perkawinan itu melanggar ketetapan Tuhan dalam Im 20:21. Apa pasal? Permaisuri ini mantan isteri kakak sulungnya, Arthur. Dia mati muda di usia 15 tahun setelah 5 bulan menikah. Demi alasan politis, si janda kembang tanpa anak itu dinikahkan dengan adik Arthur, Henry, dengan dispensasi dari Paus atas halangan affinitas. Dispensasi yang menurut Henry tak sah, maka harus dianulir.
Sekiranya sang permaisuri bukan Catherine dari Aragon, masalahnya mungkin tak begitu rumit. Soalnya, Catherine ini puteri pasangan terkenal Ratu Isabella dari Castillia dan Raja Ferdinand dari Aragon. Cucu mereka kini jadi Kaisar Karel V yang berkedudukan di Jerman dan sudah mahakuasa di Italia, termasuk Negara Kepausan. Paus ada di bawah kendalinya, Catherine adalah bibinya; menceraikannya berarti memercikan aib ke wajah keluarga besar Kaisar. Lagian Paus berkepentingan tetap menjalin hubungan dengan Kaisar yang Katolik itu dalam upayanya meredam dua masalah mengancam: tentra Muslim Turki yang menyerang di Timur dan Luther yang membangkang di utara.
Menimbang semua ini, jelas Paus tidak bisa mengiyakan permohonan Henry. Apa daya? Paus rupanya ambil langkah enteng: ulur waktu. Cinta menggebu konon pelan-pelan akan mereda, akhirnya bisa menguap sama sekali. Begitulah pengandaiannya, biarkan waktu menyelesaikan persoalan. Dugaan Paus meleset. Dari pihak Henry, permohonan tidak segera ditolak berarti ada harapan. Catherine pun tak mau kalah, proses naik banding dia ajukan ke Roma. Maka, Juli 1529 akhirnya turun keputusan Paus: permohonan pembatalan ditolak. Sang Raja pun murka.
Awalnya, pemutusan hubungan dengan Roma
Raja tidak bergeming. Ditempuhlah jalan pendekatan para akademisi. Terbentuk tim penasehat yang mumpung. Di antaranya seorang imam, anak petani miskin yang jadi sarjana: Thomas Cranmer. Imam pemuja Luther ini, yang diam-diam sudah menikah, menyampaikan kepada Raja pendapat yang ia pasti suka dengar: kemungkinan perkawinan Raja dibatalkan, dan Raja seharusnya mengepalai Gereja, berdasarkan Roma 13.
Tahun 1531 Henry memaklumkan dirinya “Kepala Tertinggi Gereja Inggris”. Cranmer, penasehat setia yang sudah diangkat menjadi Uskup Agung Caterburry (Uskup Utama di Inggris), diminta menerbitkan Declaratio Nullitatis atas perkawinan Henry dengan Catherine, dan mengesahkan perkawinan diam-diamnya dengan Anney Boleyn yang lagi hamil tua (1533). Paus menjawab dengan bulla ekskomunikasi (Juli 1534). Reaksi Inggris sama dengan pemutusan total hubungan dengan Roma: – Parlemen menyetujui Undang-undang Superemasi (1534) yang mengakui raja sebagai “satu-satunya Kepala Tertinggi Gereja Inggris”. Undang-undang ini mewajibkan kaum Klerus, ordo-ordo kebiaraan, pejabat negara, pegawai sipil, dosen, mengucapkan sumpah mendukung supremasi raja. Korban pun berjatuhan. John Fisher, Uskup Rochester, dan Thomas More, mantan perdana menteri, menolak angkat sumpah. Mereka dipenjarakan lalu dihukum mati. Begitu pula sejumlah biarawan. Perlawanan ordo-ordo kebiaraan memberi alasan kepada raja mengambil alih milik mereka. Sejak tahun 1536 Henry menghapus keberadaan biara-biara, mengusir para rahib, memaksa mereka menikah, menyita tanah milik mereka dan menyerahkannya kepada kaum bangsawan. Dengan demikian kelas ningrat berhasil diambil hatinya untuk mendukung kebijakan raja.
Dari Skisma ke Bidat
Henry yang sensual dan semena-mena lantas menceraikan pula Anna Boleyn, setelah dia hanya melahirkan seorang putri, Elizabeth. Dirancanglah tuduhan: Elizabeth bukan anaknya, dia hasil perzinahan. Maka Anne pun dipancung. Raja menikah lagi dengan Jane Seymour, yang akhirnya memberinya anak laki-laki pewaris, Edward VI. Ibunya meninggal tak lama setelah melahirkan. Henry masih memperistri 3 orang lain lagi, Anne dari Cleves, diceraikan tahun 1540, Catherine Howard, dihukum mati tahun 1542 karena berkelakuan buruk, dan Catherine Parr, satu-satunya yagn bertahan hidup sampai Henry wafat tahun 1547. Raja paling bengis, paling berubah-ubah sikap, paling menakutkan dari antara para Raja Inggris, akhirnya pergi memberi pertanggungan jawab kepada Sang Pencipta.
Henry tak benar-benar ingin mengubah Gereja: Ia cuma ingin mengendalikannya. Dan ketika menggenggam kendali itulah, dengan memutuskan hubungan dengan Roma (skisma), ia membuka pintu bagi tokoh-tokoh yang cenderung lebih menyukai pandangan-pandangan Reformasi Protestan. Rakyat Inggris, kebanyakannya, ikut saja demi ketaatan kepada Raja, bukan terutama dengan antusiasme karena keyakinan. Memang tidak ada bukti permusuhan besar terhadap Gereja dan lembaga-lembaganya di sana sebelum Reformasi; sebaliknya, baik episkopat maupun para pastor paroki tampaknya, menurut standar negeri-negeri Eropa lainnya, sungguh terdidik baik dan hidup tanpa skandal pula.
Tetapi tanpa disadari Henry, tindakan-tindakannya telah memicu dukungan bagi ajaran bidat yang dulu ia perangi mati-matian dalam tulisan-tulisannya. Ini bukan sesuatu yang tak terduga. Dalam kampanyenya melawan Gereja, Henry tidak bisa tidak menggunakan orang-orang yang punya perlengkapan senjata polemik dengan Gereja Katolik, dan itu paling gampang diberikan oleh Protestantisme. Akibatnya tokoh-tokoh pelopor ajaran baru itu, semisal Thomas Cranmer, mendapatkan posisi-posisi berpengaruh.
Di tahun-tahun terakhir hidupnya tampak jelas kalau tindakan-tindakannya telah mengakibatkan terbentuknya partai kaum Injili (evangelis) yang kuat di lingkungan istana. Waktu ia wafat mereka bergerak cepat menegaskan supremasi mereka dalam pemerintahan perwalian yang diharuskan oleh kondisi Raja baru, Edward VI, yang masih di bawah umr. Maka pemerintahan singkat Edward menyaksikan upaya keras memperlakukan sistem pemerintahan Protestan di Inggris, mengikuti pola gereja-gereja Kalvinis di Swiss dan Jerman. Inggris benar-benar memasuki Reformasi Protestan (Bidat). Dalam rentang waktu 6 tahun pemerintahan Edward, banyak hal bisa dicapai: disusunya the Book of Common Prayer, buku pedoman ajaran Gereja Inggris, sebuah kompromi: Tata Ibadah yang baru, dengan ritual mirip Misa tetapi unsur-unsur tertentu yang bisa menyinggung perasaan Protestan disingkirkan, pernak-pernik Katolik ditanggalkan dari gedung-gedung Gereja.
Upaya kembali ke pangkuan Roma, dan pembentukan definitif Gereja Anglikan
Edward meninggal cuma 6 tahun setelah naik tahta. Penggantinya, Mary yang Katolik, anak Henry dengan Catherine dari Aragon. Tekadnya: menegakkan kembali iman Katolik. Metode yang dipakai: pemerintahan terror dan perundang-undangan. Berjatuhanlah martir-martir Protestan, di antaranya Uskup Agung Cranmer. Yang mau menyelamatkan nyawa, mengungsi keluar negeri, terutama ke Swiss, pusat Kalvinisme. Pada akhirnya, Mary barangkali cuma menmbawa kerubian besar bagi kepentingan Katolik gara-gara menciptakan rasa permusuhan mendalam terhadap dirinya dari pihak rakyat Inggris. Ditambah perkawinannya dengan Pangeran Philip dari Spanyol, lengkaplah ia menjadi ratu yang dibenci rakyatnya.
Mary cuma memerintah 5 tahun. Penggantinya, saudari tirinya anak Anne Boleyn, Elizabeth. Ratu ini simpatisan Protestan. Maka, selama pemerintahannya yang panjang (45 tahun) ia berhasil menegakkan kembali Protestantisme. Meski tidak diharapkan Henry menjadi penerusnya, Elizabeth ternyata menjadi Ratu terhebat dalam sejarah Inggris. Perempuan luar biasa berani, meskiĀ harus menantang dua kekuatan politis Katolik Eropa waktu itu: Perancis dan Spanyol. Namun ia bijak dalam pendekatannya: bekerja tidak buru-buru, menggantikan para pejabat Katolik degan orang Protestan. Ia menitahkan penggunaan kembali The Book of Common Prayer, memberlakukan lagi Undang-undang Supremasi, menyandang gelar “Supreme Governor of the Church” (Pengurus Tertinggi Gereja).
Ia pertahankan hirarki gerejani serta liturgi dalam Gereja Anglikan, hal yang memancing kemarahan kalangan banyak menganut Calvinis yagn berdatangan dari pengungsian di Swiss. Tapi ancaman sesungguhnya baginya datang dari orang Katolik, yang bersekongkol menyingkirkannya setelah ia dikenai hukuman ekskomunikasi dari Paus, tindakan yang justru hanya memperburuk diskriminasi dan menggelorakan penindasan terhadap umat Katolik di Inggris: beriman Katolik tidak mungkin selaras dengan semangat nasionalisme Inggris (maklum kala itu belum ada pemikiran tentang kebebasan beragama sesuai hati nurani). Tetapi pendiri sebenarnya Gereja Anglikan adalah Ratu Elizabeth I ini, sebagai jalan tengah antara Katolikisme dan Kalvinisme, dengan memilih dan memilah-milah yang dinilai positif dari Katolik, Luther, Kalvin. Begitulah akhirnya Gereja Anglikan mendapatkan bentuknya yang tetap.