Menu Tutup
Misa Serah Terima

Saat Hening dalam Perayaan Liturgi

Saat Hening dalam Perayaan Liturgi

Kita hidup dalam dunia yang ditandai dengan hiruk pikuk, kesibukan dan keributan. Salah satu kebutuhan manusia adalah menemukan ketenangan dan keheningan. Perayaan liturgi adalah tempat di mana orang boleh menemukan ketenangan dan keheningan itu. Apa makna keheningan itu? Di mana ruang keheningan itu kita temukan di dalam perayaan liturgi ekaristi? Tulisan singkat ini akan memberikan jawabannya.

Makna hening dalam perayaan liturgi

Keheningan merupakan elemen penting dalam perayaan liturgis. Keheningan liturgis merupakan sarana yang menghantar orang untuk masuk ke dalam dunia batin di mana Tuhan dialami secara lebih pribadi. Dalam keheningan padang gurun Allah mewahyukan diri-Nya kepada Musa (Kel 3). Dalam kesunyian malam Allah berbicara kepada Samuel (1 Sam 3:1-18).

Hening adalah sikap yang pantas bagi umat untuk mendengarkan sabda Tuhan. Ketika Tuhan berbicara, maka umat mendengarkan dalam keheningan. Karena itu sangat cocok bahwa saat hening dibuat sesudah bacaan pertama dan bacaan kedua, serta sesudah homili. Hening adalah saat di mana umat mendengarkan sekaligus meresapkan Sabda Tuhan. Sayang sekali, saat-saat hening seperti ini banyak kali dilalaikan begitu saja.

Hening juga merupakan saat di mana umat beriman untuk memohon Roh Kudus. Pada bagian inti iturgi tahbisan, uskup menumpangkan tangan kepada calon tahbisan tanpa mengatakan apa-apa. Hal yang sama juga dilakukan oleh para imam yang hadir. Dalam keheningan uskup, para imam dan umat yang hadir memohon rahmat Roh Kudus bagi mereka yang akan ditahbiskan.

Umat berpartisipasi secara aktif di dalam liturgi dalam pelbagai bentuk. Salah satunya adalah melalui saat hening. Itulah saat hening yang khidmat (SC 30). Tidaklah benar bahwa saat hening mengurangi partisipasi aktif umat dalam liturgi. Seolah-olah saat hening menghantar umat pada devosi pribadi. Hening dalam perayaan liturgi selalu terjadi di dalam kebersamaan. Saat hening bukanlah sikap pasif, melainkan sebuah sikap aktif, yakni mendengarkan dan meresapkan sabda Tuhan, masuk lebih dalam ke hadirat Tuhan.

Saat-saat hening dalam perayaan ekaristi

Saat hening merupakan bagian dari perayaan, tetapi arti dan maknanya berbeda-beda menurut makna bagian yang bersangkutan (PUMR 45). Keheningan itu dijaga bukan saja pada saat perayaan ekaristi berlangsung. Bahkan, sebelum perayaan ekaristi, umat dianjurkan untuk menjaga keheningan di dalam gereja, di sakristi, di luar gereja.

Saat hening dalam Doa Pembuka

Saat hening merupakan bagian penting dari Doa Pembuka. PUMR 54 mengatakan: “Imam mengajak umat untuk berdoa. Lalu semua yang hadir bersama dengan imam hening sejenak untuk menyadari kehadiran Tuhan, dan dalam hati mengungkapkan doanya masing-masing. Kemudian, imam membawakan doa pembuka yang lazim disebut collecta”. Dalam keheningan umat yang berkumpul merenungkan apa yang sementara terjadi. Mereka berdiri di hadirat Allah yang hidup. Sebab di hadirat Allah semua makhluk hanya bisa bersujud hening dan menyembah-Nya.

Inti dari doa pembuka sebenarnya bukan terletak teks doa yang dibacakan oleh pemimpin, melainkan pada doa hening dari sebuah yang hadir sesudah ajakan untuk berdoa (oremus). PUMR mengatakan bahwa pada saat hening sejenak umat menyampaikan doa-doa pribadi mereka. Hening merupakan saat bagi umat untuk mengarahkan diri kepada Tuhan dengan hati yang tak terbagi. Imam merangkumkan atau mengumpulkan doa batin dari umat yang hadir dalam doa collecta (colligere: mengumpulkan).

Hening sebelum Pernyataan Tobat

Saat hening sangat dianjurkan sebelum umat menyatakan tobat secara bersama-sama. Imam mengajak umat untuk menyatakan tobat. Dan sesudah hening sejenak, seluruh umat menyatakan tobat dengan rumusan pengakuan umum (PUMR 51). Saat hening di sini tidak dimengerti sebagai saat di mana setiap orang memeriksa atau mengingat segala dosa yang telah diperbuat. Sebab pemeriksaan batin yang seperti itu membutuhkan ruang dan waktu yang lebih banyak, misalnya dalam ibadat tobat. Dalam pernyataan tobat, cukuplah bahwa umat menyadari diri mereka sebagai orang yang tidak sempurna dan berdosa di hadapan Tuhan.  Yang terpenting di sini adalah bahwa umat menghadap Tuhan dengan sebuah kesadaran imam seperti Petrus: “Tuhan, pergilah dari padaku sebab aku ini tidak layak” (Luk 5:8).

Pada pembukaan ibadat Jumat Agung kita masih bisa mengalami saat doa hening yang sangat mengesankan, yakni dalam bentuk tiarap (prostatio). Setibanya di depan altar, imam dan pembantu-pembantunya bersembah sujud dengan tiarap dan berdoa sejenak dalam keheningan bersama dengan seluruh umat. Tindakan liturgis ini mengungkapkan rasa hormat dari manusia berdosa di hadapan misteri kasih Allah yang tak terselami.

Saat Hening dalam Doa Umat

Saat hening pada saat Doa Umat memiliki makna yang khusus. Kita mengambil contoh saat hening dalam Doa Umat Meriah dalam perayaan Jumat Agung. Diakon, atau kalau tidak ada diakon petugas awam, menyampaikan ajakan yang menyatakan ujud doa. Seluruh umat berdoa sejenak dalam hati. Saat hening ini menjadi kesempatan bagi umat untuk menjadikan ujud-ujud doa yang disampaikan sebagai ujud doa sendiri. Menurut tradisi, sesudah penyampaian ujud doa, diakon dapat menyampaikan ajakan “Berlutulah kita” (flectamus genua). Lalu umat berlutut dan berdoa dalam hati. Sesudah ajakan “berdirilah” (levate), umat berdiri dan dilanjutkan dengan doa imam.

Dalam perayaan ekaristi, umat berdiri dan mengungkapkan doa mereka entah lewat permohonan yang diserukan bersama-sama sesudah tiap-tiap ujud, entah dengan berdoa dalam hati (PUMR 71). Saat hening sangat cocok dan berfaedah jika umat terlibat dalam doa umat melalui seruan doa bersama-sama. Doa Syukur Agung I menetapkan doa permohonan hening seperti ini untuk orang-orang yang hidup dan yang sudah meninggal. Dalam doa-doa syukur agung yang lain, hening ini tidak disinggung secara jelas. Namun, tentu saja imam memasukkan hening sejenak pada saat mendoakan orang-orang yang sudah meninggal, teristimewa mereka yang didoakan dalam perayaan.

Saat Hening Sesudah Komuni

Sesudah pembagian Tubuh dan Darah Kristus imam dan umat beriman dapat berdoa sejenak dalam keheningan (PUMR 88). Pantaslah untuk dipuji jika umat dan imam mengikuti anjuran ini. Selama doa hening, imam tidak terus menerus beraktivitas di altar, melainkan mengambil tempat duduk dan terlibat dalam doa hening seluruh umat (PUMR 164). Sayang sekali, imam terkadang tidak terlibat dalam doa hening karena sibuk membersihkan perlengkapan-perlengkapan misa di atas altar. Padahal, seyogyanya piala dan sibori dibersihkan di meja kredens, atau jika terlalu banyak bisa dibersihkan sesudah perayaan ekaristi (PUMR 163).

Doa-doa pribadi dari umat dalam bagian komuni ini tetap dihubungkan dengan doa seluruh umat; ucapan syukur dari masing-masing umat merupakan bagian dari syukur bersama dari semua umat. Sebab mereka semua telah mengambil bagian dari roti dan piala yang satu dan sama. Juga dalam adorasi-adorasi ekaristi saat hening sangatlah penting. Memang dari bentuknya, ibadat adorasi seperti ini biasanya dirancang secara meditatif. Oleh karena itu, ruang untuk permenungan dan keheningan harus diperluas. Doa pribadi di hadapan tabernakel di luar perayaan ekaristi merupakan salah satu bentuk yang cocok untuk doa hening.