STFSP, Pineleng, 14 Maret 2020
Kebudayaan tanpa Filsafat itu mati. Begitu kata Dr. Paul Richard Renwarin, salah satu pembicara dalam Seminar Kebudayaan yang diadakan di STF Seminari Pineleng. Seminar yang diadakan sebagai salah satu kegiatan dalam rangka 50 tahun STF Seminari Pineleng, menghadirkan tiga orang pembicara. Yang pertama diharapkan hadir adalah Gubernur Sulawesi Utara. Beliau diwakili oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Bpk. Jenry M. Sualang, S.Pd., MAP. Selanjutnya tampil dua antropolog senior Sulawesi Utara yaitu Bpk. Alex Ulaen, DEA, dan Pst. Dr. Paul Richard Renwarin.
Seminar dimoderatori oleh Pst. Dr. Ignasius Welerubun, sosiolog muda dari STF Seminari Pineleng. Ia membagi seminar ini dalam tahapan realitas dan refleksi. Realitas dibawakan oleh Alex Ulaen dan Bpk. Jenry M. Sualang, sedangkan refleksinya akan dihantar oleh Pst. Cardo, begitu nama akrabnya. Alex Ulaen, yang merupakan salah satu anggota penting dalam penyusunan proposal untuk pembangunan kebudayaan daerah, memulai rangkaian pembicaraan dengan memaparkan Undang-undang no 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan Daerah. Kebudayaan menurut pasal satu undang-undang tersebut dirumuskan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan cipta rasa karsa dan hasil karya masyarakat. Tujuan pemajuan kebudayaan adalah meningkatkan ketahanan budaya Indonesia di tengah peradaban dunia melalui usaha perlindungan, pengembangan, pemanfaatan dan pembinaan kebudayaan guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Ada sepuluh obyek atau unsur yang dapat diperhatikan: tradisi lisan, manuskrip, adat-istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat dan olahraga tradisional. Bapak Ulaen juga memperlihatkan bagaimana undang-undang ini ditanggapi oleh setiap propinsi dengan kebijakan pembangunan masing-masing.
Pembicara kedua, Jenry M. Sualang, mengangkat tema Usaha Pemajuan Kebudayaan Daerah yang sudah konkret dilaksanakan oleh Propinsi Sulawesi Utara. Menurutnya Pemerintah Provinsi Sulut telah berupaya secara konsisten melestarikan dan merawat adat istiadat, seni dan budaya local, termasuk di dalamnya kearifan lokal yang ada. Bpk. Sualang mengingatkan pertama tujuan pendidikan, yaitu untuk mendidik manusia yang cerdas bukan hanya dalam pengetahuan, tetapi juga secara emosional, sosial, spiritual dan kinestetik. Disanalah budaya Minahasa dan falsafahnya penting: maesa-esaan, mangenang-genangan, maleos-leosan dan matombo-tomboan. Ia mengharapkan mahasiswa bisa menjadi agen budaya yang cerdas.
Dengan bersemangat Kadis Pendidikan dan Kebudayaan ini menguraikan visi pembangunan Sulawesi Utara: “Terwujudnya Sulawesi Utara berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik dan berkepribadian dalam Budaya.” Dalam perangkingan Indeks Pemajuan Kebudayaan tahun 2019 (IPK) Sulawesi Utara menduduki peringkat kesembilan dari 34 propinsi. Dari 34 itu hanya 4 propinsi yang memiliki Dinas Kebudayaan yakni Propinsi Bali, Yogyakarta, Sumatera Barat dan Sulawesi Utara. Sudah banyak usaha pemajuan kebudayaan, termasuk merawat budaya yang ada, konservasi benda-benda bersejarah di museum, merawat tulisan-tulisan dalam bahasa kuno seperti misalnya kitab suci bahasa Tombulu, serta mendukung sanggar-sanggar seni dan budaya yang ada di Sulawesi Utara. Tak luput dari perhatian adalah pengembangan tarian khas Minahasa, seperti Maengket. Begitu juga dukungan terhadap alat musik tradisional kebanggaan Sulawesi Utara, yaitu musik kulintang, demikian Bpk. Jenry M. Sualang memaparkan.
Pst. Cardo Renwarin mulai dengan menerangkan apa makna kebudayaan. Menurutnya kebudayaan bisa dimengerti dalam arti kata benda, kata kerja maupun proses. Sebagai kata benda kebudayaan dapat dilihat dari peninggalan-peninggalan seperti artefak, bahasa, ritus serta hasil-hasil kesenian khas suatu daerah. Sebagai perkembangan, sejarah budaya bergerak dari tahap mitis (terungkap melalui cerita-cerita mitologis), tahap ontologis dan tahap fungsional.
Lalu dimanakah peran filsafat dan teologi terhadap pemajuan kebudayaan? Kebudayaan sendiri tak bisa dilepaskan dari filsafat. Tanpa filsafat kebudayaan mati. Pst. Cardo Renwarin memaparkan filsafat sebagai sarana untuk berefleksi, mencari akar dan makna. Metodenya bagaikan orang menyelam, pada tahap awal orang akan bertemu dengan bentuk-bentuk kebudayaan dalam arti kata benda. Tetapi pada tahap yang lebih dalam kita akan bertemu dengan struktur dan nilai yang lebih dalam. Inilah salah satu tantangan filsafat sebagai ilmu yang umum, yang bertanggung jawab menuntun orang pada berpikir kritis.
Dalam konteks itu cara berpikir baru teologis sangat penting. Dosen Antropologi STFSP mengangkat pikiran Ignatius Kardinal Suharyo yang membagi tahap-tahap berteologi dalam tindakan mendengarkan, menganalisa, mengkontemplasikan dengan cahaya tradisi iman dan Gereja serta tahap aksi. Sekarang masalahnya bagaimana Teologi merefleksikan realitas budaya ini? Kebudayaan menjadi tantangan untuk direfleksikan dan diresapi dan diangkat menuju kebudayaan kristiani.
Terlibat dalam seminar ini selain sivitas akademik STFSP, juga para tamu dari aneka kelompok kebudayaan di Sulawesi serta beberapa utusan dari Perguruan Tinggi-Perguruan Tinggi mitra STFSP seperti IAKN Manado, UKIT Tomohon, IAIN Manado, STP Don Bosco Tomohon dan Universitas Katolik de La Salle, Manado.
Seminar Budaya: Kebudayaan tanpa Filsafat itu Mati.
Posted in Penelitian, Pengabdian