Menu Tutup

Kampus Siap BIPA

Manado, 30 Mei 2022

Kampus Siap BIPA: Menuju Internasionalisasi Bahasa Indonesia

Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara di bawah naungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menggelar kegiatan bertajuk “Kampus Siap BIPA” pada hari Senin, 30 Mei 2022 di Swiss-Belhotel Maleosan Manado. Untuk diketahui, BIPA adalah akronim dari Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing.

Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng mendapat kehormatan untuk mengikuti kegiatan ini bersama dengan kurang lebih 20 Perguruan Tinggi lainnya di Sulawesi Utara, baik negeri maupun swasta. STFSP sendiri mengutus 4 orang mahasiswa Program Studi Mayor, yakni Bill Lira, Dedianus Pati, Theodorus Palit, dan Ray Lolowang untuk mengikuti kegiatan ini.

Adapun kegiatan ini berlangsung dari pukul 09.30 dan berakhir pada pukul 17.15. Kegiatan ini diawali dengan doa pembuka oleh salah satu peserta dari UPT Bahasa Universitas Sam Ratulangi Manado, dan kemudian dilanjutkan dengan menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya yang dipandu oleh salah satu mahasiswa kita, yakni Theodorus Palit. Sesudah itu, Saudari Dyah, selaku Staf Balai Bahasa Provinsi Sulut sekaligus Ketua Panitia pelaksana kegiatan ini memberi laporan tentang Pelaksanaan Program BIPA oleh Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara. Dalam laporannya, kegiatan BIPA sudah berlangsung cukup lama, sekitar tahun 2015.

Laporan ini menjadi lengkap penjelasannya ketika mantan Kepala Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara (yang telah memasuki masa purnabakti per tanggal 20 Mei 2022), Drs. Dwi Sutana, M.Hum., memberikan sambutan sekaligus membuka kegiatan ini. Menurut beliau, Bahasa Indonesia memiliki potensi yang kuat untuk menjadi Bahasa Internasional ketujuh sesudah Bahasa Inggris, Perancis, Arab, Mandarin, Rusia, dan Spanyol. Bahkan ia menuturkan bahwa pada tahun 2008, PBB pernah menempatkan Bahasa Indonesia pada peringkat keempat penutur terbanyak sesudah Bahasa Inggris, Arab, Mandarin. Bahasa Indonesia memiliki potensi menjadi Bahasa Internasional karena salah satunya untuk kepentingan bilateral, baik dalam bidang politik, hukum, sosial, perdagangan, dan sebagainya. Ia kemudian menyatakan bahwa BIPA hadir sebagai program pemerintah melalui Kemenristekdikti untuk membuka jalan menuju cita-cita ini sebagaimana tertuang dalam UU No. 24 Tahun 2009. Penyelenggaraan kegiatan ini tidak lain untuk memperkenalkan BIPA kepada Perguruan Tinggi yang memiliki peluang untuk maksud itu, dan diharapkan di kemudian hari bisa membuka layanan profesional BIPA di Perguruan Tinggi masing-masing.

Pengalaman New Delhi

Sesudah dibuka secara resmi, sesi pertama dibawakan oleh Bapak Lefrand Rurut, S.S., M.Pd., selaku peneliti pada Balai Bahasa Provinsi Sulut dan setahun yang lalu baru saja “hijrah” ke BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) karena tuntutan regulasi bahwa semua peneliti mau tidak mau harus pindah di bawah koordinasi BRIN. Pak Lefrand berbagi pengalamannya ketika pernah menjadi Pengajar BIPA di New Delhi, India pada tahun 2017. Ia mengisahkan bagaimana suka dan duka perjuangan menjadi pengajar BIPA. Dalam konteks India, beliau harus mempelajari bahasa setempat yang lumayan banyak, seperti Bahasa Hindi, Urdu, Santhali, dan seterusnya. Selain itu, beliau juga harus mengenal budaya setempat dan beradaptasi dengan iklim di sana yang cukup ekstrem panasnya (bisa mencapai 39°C, bahkan kadang-kadang bisa mencapai 44°C). Namun, semua itu bisa dijalani sebab antusias yang luar biasa dari para peserta BIPA yang cepat tanggap tetapi juga kritis terhadap pembelajaran. Ia juga menambahkan bahwa untuk mencapai penginternasionalisasian Bahasa Indonesia, negara kita sudah cukup memiliki 3 dari 4 modal yang dibutuhkan, antara lain: jumlah penutur yang lumayan banyak dibandingkan dengan bahasa Melayu, memiliki banyak budaya yang bernilai tinggi yang bisa menarik perhatian warga negara asing sehingga juga menarik perhatian warga negara asing untuk memelajarinya, bahasa Indonesia tergolong sederhana dalam strukturnya dan mudah dipahami. Sedangkan 1 modal lainnya masih perlu ditingkatkan yakni, kepercayaan diri dari negara kita terhadap bahasa sendiri. Menurut beliau, masih banyak orang Indonesia yang pesimis bahwa bahasanya sendiri bisa menjadi bahasa Internasional. Kurangnya apresiasi terhadap bahasa ini seolah-olah menjadikannya “tamu” di negara sendiri. Salah satu contoh yang ia angkat yaitu banyak orang yang antusias mengikuti ujian TOEFL daripada Ujian Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) yang diselenggarakan oleh Kemdikbud. Hal inilah yang menjadi perhatian beliau ketika pernah juga mendapat kesempatan mengajar di Universitas De La Salle Manado. Ia mengatakan kepada para mahasiswa “silahkan belajar bahasa Inggris demi kepentingannya sebagai bahasa pengantar pada bidang ilmu tertentu, misalnya Mata Kuliah Menejemen dan sebagainya. Tetapi di kelas saya, tidak ada yang menggunakan bahasa yang lain selain Bahasa Indonesia yang baku.” Dan menurut kesaksiannya, itu ternyata sulit. Hampir semua mahasiswa “belepotan” menggunakan bahasanya sendiri. Alhasil, tidak sedikit mahasiswa yang merasa diri rendah karena bahasanya dan menjadi pesimis bahasa ini bisa menjadi Bahasa Internasional di kemudian hari.

Tutor Mahasiswa Asing

Sesudah istirahat makan siang, sesi kedua dengan topik Program dan Pengajaran BIPA di Universitas dibawakan oleh Dr. Djeinnie Imbang, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Sastra Indonesia pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sam Ratulangi Manado. Ia sendiri adalah pakar dalam bidang linguistik secara khusus Bahasa dan Sastra Indonesia. Ia juga telah lama berkecimpung dalam pengajaran BIPA di Universitas yang dahulu dikelola bersama dengan COTIM (Consortium for the Teaching of Indonesian and Malay). Ia berkisah panjang lebar tentang suka dan duka menjadi “tutor” pada mahasiswa asing yang mendapat beasiswa “Darmasiswa” dari pemerintah Indonesia yang bekerjasama dengan Unsrat. Ia mengatakan bahwa kesulitan terbesar dalam pengajaran BIPA ini adalah bagaimana tutor menjalankan tugas dan fungsinya di dalam kelas dengan baik karena diandaikan sudah ada persiapan sebelumnya. Baginya, tutor itu tidak perlu banyak berbicara dan berusaha dengan caranya sendiri supaya para peserta dapat menemukan sendiri apa yang sedang mereka pelajari. Ia menambahkan bahwa mengajar untuk mahasiswa asing sangat berbeda ketika mengajar untuk mahasiswa Indonesia. Sebab mahasiswa asing itu kritis dan terbuka. Mereka dapat secara langsung mengatakan di dalam kelas kepada tutor atau penyelenggara bilamana ada hal-hal yang mereka tidak sukai dalam seluruh aspek pengajaran. Mereka bahkan bisa meminta untuk mengganti tutor yang lain bila tutor tersebut tidak sesuai dengan ekspektasinya. Mereka juga sangat disiplin dalam hal waktu, sehingga tutor itu harus sudah ada di dalam kelas kurang lebih 10 menit sebelum kelas dimulai.

Dalam kegiatan ini juga, Dr. Imbang memperkenalkan apa saja yang menjadi kriteria BIPA jika diajarkan di Perguruan Tinggi, yakni mulai dari kriteria penyelenggara BIPA Universitas itu sendiri, kriteria para pesertanya/pemelajar BIPA, kriteria pengajar BIPA, dan bagaimana penyelenggaraan BIPA di Perguruan Tinggi yang tidak lain yakni menyangkut aspek kurikulum/silabusnya, sarana dan prasarana yang dibutuhkan, serta administrasinya. Akhirnya, beliau menambahkan bahwa yang paling juga penting adalah evaluasi terhadap penyelenggaraan BIPA terutama dalam hal menjadi tutor terhadap para peserta.

Program BIPA yang membantu

Sesi ketiga dilanjutkan oleh Michael Murphy, seorang pemelajar BIPA dari Irlandia, Eropa Barat, yang berkisah tentang suka dan dukanya ketika memelajari BIPA itu sendiri. Ia adalah seorang guru Bahasa Inggris di Irlandia yang tertarik untuk memelajari Indonesia karena sewaktu sekolah dasar ia pernah mendengar dalam pelajaran sejarah bahwa ada pulau yang disebut “Pulau Rempah-Rempah”. Di kemudian hari barulah ia tahu bahwa pulau yang dimaksudkan itu adalah Indonesia pada zaman kolonialisme dan penjajahan terjadi. Ketertarikannya itu kemudian membawa ia pada satu keinginan untuk mengenal budaya Indonesia. Tidak ada cara yang lain selain memelajari terlebih dahulu Bahasa Indonesia. Awalnya, ia memelajari Bahasa Indonesia dari aplikasi duo lingo. Tetapi, namanya aplikasi pasti memiliki kekurangan di mana-mana. Ia merasa jika hanya untuk memelajari percakapan Bahasa Indonesia, aplikasi ini cukup membantu. Tetapi bila ingin belajar apakah percakapan aplikasi itu benar dan sesuai dengan tata bahasa Indonesia yang baku, aplikasi ini sama sekali tidak bagus. Ia kemudian memutuskan untuk datang ke Indonesia untuk maksud tersebut dengan modal pelajaran yang ia dapatkan dari aplikasi tersebut. Setiba di tanah air, ia memberi kesaksian bahwa ia merasa sangat asing dan “bodoh” karena tidak bisa tahu Bahasa Indonesia. Artinya, apa yang ia pelajari secara instan di aplikasi tidak sesuai dengan harapan. Belum lagi iklim yang sangat kontra dengan iklim Irlandia. Semua tulisan yang ia baca di jalan-jalan, dinding-dinding dan seterusnya tidak satupun yang ia mengerti. Ia kemudian mengunjungi tempat-tempat wisata di Jakarta maupun Jogjakarta, malah membuatnya tambah bingung, apalagi mendengar bahasa-bahasa daerah setempat. Sempat ia berkecil hati, tetapi ia kemudian membangun komitmen untuk belajar lebih tentang Bahasa Indonesia lewat program BIPA.

Setelah mengikuti program ini, bukan berarti ia merasa sudah mahir. Ternyata, ia masih menemukan pelbagai kesulitan juga. Ia menuturkan bahwa memang belajar Bahasa Indonesia tidak terlalu rumit bila dibandingkan dengan Bahasa Korea yang ia pelajari sewaktu berada di sana. Baginya, Bahasa Indonesia memiliki persamaan alfabet/huruf serta tata bahasa (Subjek, Predikat dan Objek) yang sama dengan Bahasa Inggris sehingga tidak sulit. Kesulitan yang sampai sekarang ia masih rasakan adalah adanya konsonan-konsonan yang tidak pernah didapatkan di dalam Bahasa Inggris, misalnya ny (nyaman), sy (masyarakat) dan seterusnya. Kesulitan terjadi dalam pelafalan, sehingga ketika membaca tulisan-tulisan ini lidahnya seperti kaku. Kesulitan lain juga ia peroleh ketika tidak bisa membedakan ‘e’ taling dan ‘e’ pepet sehingga ketika membaca “emas” bunyi katanya menjadi aneh. Kesulitan lain lagi ketika arti dalam bahasa Inggris menjadi berbeda ketika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Ia berkisah bahwa pernah mengatakan kepada istrinya “We have a good chemistry!” (arti sebenarnya: “Kita sudah cocok!”). Namun, gara-gara google translater, ia mengatakan kepada istrinya “Kita sudah kimia!” Semua peserta kegiatan tertawa terbahak-bahak.

Akhirnya, Ia juga menyadari bahwa ternyata di Indonesia bahasa percakapan sehari-hari lebih banyak menggunakan bahasa melayu dengan logat masing-masing daerah. Misalnya bahasa Melayu-Manado: satu saat ia pernah mengatakan kepada seorang bapak bahwa ia hendak berkunjung ke rumah bapak tersebut, namun bapak itu menjawab: “Ya minta maaf, kita mo pigi ba nonton di bioskop.” Ia lantas menjawab dengan penuh keheranan: “Kita? Dengan saya?” Gelak tawa peserta menjadi riuh di dalam ruangan tersebut. Ia menutup presentasinya dengan memberi semangat bagi dirinya sendiri agar bisa memelajari terus-menerus Bahasa dan Budaya Indonesia yang sangat kaya ini.

Kampus Siap BIPA

Di akhir sesi yang dibawakan ketiga narasumber, panitia mengadakan kuis berdasarkan apa yang sudah dipresentasikan oleh ketiganya. Dalam kuis tersebut, salah satu mahasiswa STFSP, Ray Lolowang, berhasil menjawab kuis secara cepat dan tepat sehingga mendapatkan hadiah peringkat kedua dari panitia. Kegiatan lantas ditutup dengan kesan dan pesan oleh salah satu peserta dari Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Asing (STIBA) Manado, ucapan terima kasih dari panitia dan diakhiri dengan nyanyian “Padamu Negeri” yang dipandu oleh Theodorus Palit dan ditutup dengan doa oleh Bill Lira. Sesudah itu, narasumber, peserta dan panitia kegiatan melakukan foto bersama. Dengan demikian, kegiatan Layanan Profesional Ke-BIPA-an: Kampus Siap BIPA berakhir sudah. Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara sangat mengharapkan adanya keberlanjutan dari kegiatan ini sekiranya difollow-up oleh masing-masing Perguruan Tinggi. Dan, mereka sangat terbuka untuk membantu dan mendampingi di kemudian hari. (Laporan Ray Lolowang)

Posted in Berita STFSP

Related Posts